JAKARTA - Pembahasan mengenai perpajakan kerap menjadi perhatian publik, terutama ketika muncul kebijakan yang dianggap tidak mencerminkan keadilan.
Dalam konteks tersebut, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengambil langkah penting dengan menetapkan fatwa mengenai pajak yang berkeadilan. Fatwa ini lahir sebagai bentuk respons atas keresahan masyarakat akibat adanya kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) serta beberapa jenis pungutan lain yang dinilai memberatkan.
Fatwa tersebut menjadi panduan moral sekaligus dorongan bagi pemerintah agar kebijakan perpajakan lebih menyesuaikan dengan kemampuan ekonomi masyarakat.
Langkah ini menegaskan bahwa perpajakan bukan sekadar alat negara untuk menarik pungutan, tetapi juga bagian dari sistem yang harus mencerminkan rasa keadilan dan kemaslahatan bersama. MUI menilai bahwa pengenaan pajak harus memperhatikan kondisi sosial, terutama bagi masyarakat kecil.
Melalui keputusan ini, MUI ingin memperkuat pemahaman bahwa kebijakan fiskal nasional perlu mempertimbangkan aspek moral dan etika sosial. Pajak tidak hanya berdimensi administratif, tetapi juga menyangkut nilai kemanusiaan, keberpihakan, dan keseimbangan antara kebutuhan negara dan kemampuan rakyat.
Penegasan Prinsip Pajak untuk Kelompok Mampu
Ketua Bidang Fatwa MUI, Asrorun Ni'am Sholeh, menyampaikan bahwa objek pajak sebaiknya hanya diberikan kepada harta yang bersifat produktif atau kebutuhan sekunder dan tersier.
Pernyataan ini menekankan pentingnya membedakan antara kebutuhan pokok masyarakat dan aset yang bersifat kemewahan atau bernilai tambah dalam kegiatan ekonomi. Pengenaan pajak berulang pada sembako dan tempat tinggal berpenghuni disebut tidak selaras dengan prinsip keadilan.
Ni'am menjelaskan bahwa pajak seharusnya diterapkan pada mereka yang memiliki kemampuan finansial memadai. Analogi yang digunakan merujuk pada ketentuan zakat dalam syariat Islam, di mana seseorang baru berkewajiban setelah nilai hartanya mencapai batas tertentu.
Batasan tersebut setara dengan 85 gram emas, yang menurut MUI dapat menjadi rujukan untuk parameter PTKP atau Penghasilan Tidak Kena Pajak.
Pandangan tersebut memperkuat argumentasi bahwa kebijakan pajak tidak boleh diterapkan secara merata tanpa mempertimbangkan kondisi ekonomi wajib pajak. Dengan demikian, masyarakat yang berada dalam kondisi rentan tetap terlindungi dari beban yang tidak seharusnya mereka tanggung.
Rekomendasi Evaluasi Kebijakan Pajak oleh Pemerintah
MUI mendorong adanya evaluasi menyeluruh terhadap sejumlah kebijakan perpajakan yang berlaku. Ni'am menyebut beberapa jenis pajak yang perlu dikaji ulang, seperti PBB, Pajak Pertambahan Nilai (PPn), Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), serta pajak warisan.
Kenaikan sejumlah tarif pajak dinilai lebih berorientasi pada peningkatan pendapatan daerah ketimbang mempertimbangkan rasa keadilan di masyarakat.
Evaluasi ini diharapkan dapat menghasilkan kebijakan yang lebih proporsional, di mana wajib pajak dibebankan sesuai kemampuan ekonominya. Pendekatan ini menjadi bagian dari upaya menciptakan sistem perpajakan yang merata dan tidak menimbulkan beban berlebihan pada masyarakat kelas menengah ke bawah.
Melalui rekomendasi tersebut, MUI menegaskan bahwa perpajakan harus menjadi instrumen yang mendukung kesejahteraan masyarakat, bukan justru menciptakan tekanan ekonomi baru. Reformulasi kebijakan dipandang penting agar perpajakan dapat berjalan secara transparan, terukur, dan memihak pada prinsip kemaslahatan umum.
Seruan untuk Pengelolaan Pajak yang Amanah dan Transparan
Selain memberikan rekomendasi, MUI mengingatkan pemerintah untuk menjalankan fungsi pengelolaan pajak secara amanah. Penegasan ini mencerminkan harapan agar tidak terjadi penyalahgunaan atau penyelewengan dana pajak yang diambil dari masyarakat.
Ni'am juga menyoroti pentingnya penindakan terhadap mafia pajak yang berpotensi merugikan negara dan menghambat pemerataan kesejahteraan.
Pemerintah diharapkan dapat mengoptimalkan sumber kekayaan negara sebagai bagian dari upaya meningkatkan kualitas layanan publik. Pengelolaan pajak yang baik bukan hanya terkait pelaporan dan administrasi, tetapi juga mencakup akuntabilitas dalam pemanfaatannya untuk kepentingan masyarakat luas.
MUI menilai bahwa ketika pajak dikelola secara benar, masyarakat akan lebih mudah menerima dan menaati aturan perpajakan. Rasa keadilan menjadi kunci utama dalam membangun kesadaran pajak yang menyeimbangkan hak dan kewajiban antara rakyat dan negara.
Kewajiban Pemerintah dan Masyarakat dalam Sistem Perpajakan
Fatwa ini juga menjadi pengingat bahwa pemerintah dan DPR memiliki tanggung jawab untuk meninjau ulang aturan perpajakan yang dinilai tidak berkeadilan. MUI menekankan agar fatwa tersebut dijadikan pedoman dalam penyusunan ulang kebijakan perpajakan yang lebih manusiawi dan berbasis kemaslahatan.
Di sisi lain, masyarakat tetap memiliki kewajiban menaati pajak selama pungutan tersebut digunakan untuk kepentingan umum. Ni'am menegaskan bahwa ketaatan pajak menjadi bagian dari komitmen warga negara dalam mendukung pembangunan dan program sosial selama mekanisme dan implementasinya sesuai asas kemanfaatan.
Dengan demikian, hubungan antara pemerintah dan masyarakat dalam konteks perpajakan harus berjalan selaras. Kedua pihak memiliki peran yang saling melengkapi dalam menciptakan sistem fiskal yang transparan, beretika, dan memberikan manfaat nyata bagi keberlangsungan pembangunan nasional.
Penetapan Fatwa Tambahan dalam Munas MUI
Selain fatwa tentang perpajakan, Munas XI MUI juga menetapkan beberapa fatwa lain yang berhubungan dengan isu finansial, lingkungan, dan digital. Fatwa yang diterbitkan antara lain mengenai kedudukan rekening dormant dan perlakuannya, pengelolaan sampah di sungai, danau, dan laut, serta status saldo kartu uang elektronik yang hilang atau rusak.
MUI juga mengeluarkan fatwa tentang kedudukan manfaat produk asuransi kematian pada Asuransi Jiwa Syariah. Keputusan tersebut memperlihatkan bahwa MUI turut memberikan panduan bagi masyarakat terkait perkembangan layanan keuangan dan isu lingkungan yang tengah menjadi perhatian global.
Serangkaian keputusan ini menunjukkan peran aktif MUI dalam memberikan arahan normatif terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat modern. Fatwa-fatwa tersebut diharapkan menjadi rujukan bagi publik sehingga keputusan yang diambil selaras dengan nilai keadilan, kemaslahatan, dan kepentingan bersama.