JAKARTA - Masyarakat di desa dan pesisir menjadi kelompok pertama yang merasakan dampak perubahan iklim. Meski pengetahuan teknis terbatas, mereka telah mengembangkan praktik kearifan lokal untuk menjaga lingkungan dan penghidupan.
Untuk memperkuat upaya ini, platform kemitraan pengetahuan Australia–Indonesia, KONEKSI, menyelenggarakan Knowledge and Innovation Exchange (KIE) Roadshow di Yogyakarta, Jumat, 21 November 2025. Forum ini menghadirkan 15 riset kolaboratif terkait lingkungan dan krisis iklim yang menekankan teknologi, kebijakan, dan aspek sosial-ekonomi masyarakat rentan.
Tiga Pilar Krisis Iklim: Adaptasi, Mitigasi, dan Loss and Damage
Peneliti Universitas Gadjah Mada (UGM), Luqman Nul Hakim, menyoroti tiga aspek krisis iklim: adaptasi, mitigasi, serta loss and damage. Menurutnya, loss and damage paling kompleks dinegosiasikan di tingkat global karena menyangkut tanggung jawab negara dan pembiayaan.
"Indonesia belum memiliki tata kelola kerusakan dan kehilangan. Perspektif perubahan iklim juga belum cukup berpihak pada masyarakat terdampak atau yang terpinggirkan," ujar Luqman.
Luqman dan timnya meneliti tiga wilayah, yakni Pulau Pari, Cilincing (Jakarta), dan Banyusidi (Magelang). Mereka menemukan warga setempat belum mendapatkan perlindungan kebijakan yang memadai dari pemerintah.
Riset KONEKSI kini mengembangkan perangkat yang memungkinkan masyarakat memetakan dampak iklim pada lingkungan dan penghidupan mereka. Alat ini diharapkan memperkuat kapasitas lokal untuk menghadapi perubahan iklim secara mandiri.
Perempuan dan Anak Jadi Kelompok Paling Rentan
Peneliti BRIN, Laely Nurhidayah, menekankan bahwa kombinasi kenaikan muka laut dan penurunan muka tanah menjadi silent disaster yang belum diakui dalam UU Penanggulangan Bencana. Kondisi ini menempatkan perempuan dan anak sebagai kelompok paling rentan.
Mereka menanggung beban ganda, mulai dari mengurus keluarga, mencari nafkah, hingga bermigrasi ketika rumah terendam banjir. "Indonesia belum memiliki UU Perubahan Iklim yang holistik. Mekanisme proteksi sosial saat ini lebih fokus pada bantuan, bukan pemberdayaan masyarakat rentan," jelas Laely.
Kehadiran kebijakan yang berpihak menjadi penting agar kelompok ini memiliki perlindungan lebih dari dampak iklim. Strategi berbasis komunitas diperlukan untuk memastikan mereka tetap produktif dan aman dari bencana.
Media Sosial dan Riset Populer sebagai Sarana Edukasi
Peneliti UGM, Hilya Mudrika Arini, menemukan warga pedesaan lebih mempercayai informasi dari media sosial dibanding penelitian akademik. Ilmuwan ditantang untuk mengemas riset dengan bahasa sederhana dan platform yang familiar bagi masyarakat.
Sementara media massa masih cenderung menyoroti isu makro, seperti Perjanjian Paris atau kendaraan listrik, cerita dari masyarakat tingkat tapak jarang terekspos. Strategi komunikasi ini penting agar riset memiliki dampak nyata di lapangan dan bisa diadopsi oleh masyarakat.
Riset yang dikemas dengan bahasa populer berpotensi meningkatkan kesadaran warga tentang risiko iklim. Hal ini juga mendorong masyarakat untuk menerapkan solusi lokal yang adaptif dan relevan.
Inovasi Pertanian dan Genome Editing untuk Ketahanan Pangan
Peneliti UGM, Yekti Asih Purwestri, menyoroti dampak kekeringan yang menurunkan produksi pertanian. Timnya menyaring varietas padi lokal tahan kekeringan dan salinitas, lalu mengembangkan sifat unggul melalui teknologi genome editing.
"Bersama tim riset Australia, kami mengidentifikasi sifat gen yang memengaruhi ketahanan tanaman. Dalam lima tahun ke depan, hasil riset akan bekerja sama dengan Dinas Pertanian untuk distribusi ke masyarakat," ujar Yekti.
Langkah ini menunjukkan integrasi riset ilmiah dan kebutuhan lokal. Teknologi tinggi dapat diterapkan secara tepat guna untuk meningkatkan ketahanan pangan di tengah krisis iklim.
Penerapan inovasi pertanian tidak hanya mendukung produksi pangan, tetapi juga memperkuat ekonomi lokal. Petani bisa mendapatkan varietas padi yang lebih produktif sekaligus tahan terhadap perubahan cuaca ekstrem.
Kolaborasi dan Pemberdayaan sebagai Kunci Keberlanjutan
Riset KONEKSI menekankan pentingnya kolaborasi antara pemerintah, akademisi, dan komunitas lokal. Strategi berbasis kemitraan ini memungkinkan solusi ilmiah diterjemahkan menjadi praktik nyata di lapangan.
Pemberdayaan masyarakat menjadi fokus utama agar mereka tidak hanya menerima bantuan, tetapi juga mampu mengelola risiko secara mandiri. Hal ini sejalan dengan prinsip adaptasi dan mitigasi yang bersifat partisipatif.
Dengan pendekatan ini, masyarakat desa dan pesisir dapat merespons perubahan iklim secara efektif. Riset dan inovasi berperan sebagai penghubung antara ilmu pengetahuan dan praktik lokal yang berkelanjutan.
Inisiatif semacam KIE Roadshow menjadi sarana penting untuk menyalurkan pengetahuan dan teknologi. Masyarakat tidak hanya mendapatkan informasi, tetapi juga alat untuk mengukur dan memetakan dampak perubahan iklim di lingkungan mereka.
Artikel ini menekankan bahwa menghadapi krisis iklim memerlukan kombinasi kearifan lokal, inovasi teknologi, dan kebijakan berpihak. Masyarakat rentan, termasuk perempuan dan anak, harus mendapat perlindungan melalui mekanisme yang jelas dan holistik.
Dengan strategi komunikasi yang efektif, riset dapat diterima lebih luas dan mendorong partisipasi aktif masyarakat. Pendekatan ini memperkuat ketahanan lokal sekaligus memberikan model bagi upaya adaptasi di tingkat nasional.
Kunci keberhasilan terletak pada kolaborasi lintas sektor. Ilmuwan, pemerintah, dan komunitas lokal harus bersinergi agar solusi berbasis penelitian dapat diterapkan secara langsung di lapangan dan berdampak nyata bagi masyarakat terdampak krisis iklim.