JAKARTA - Indonesia memiliki cadangan panas bumi terbesar kedua di dunia, menjadikannya sumber energi strategis. Potensi ini bisa mendukung percepatan transisi energi nasional menuju energi bersih.
Pembangkit listrik tenaga panas bumi mampu beroperasi 24 jam sebagai baseload. Hal ini membuat geothermal menjadi penopang utama yang andal dibandingkan sumber energi terbarukan lain yang bersifat intermiten.
Ahmad Rahma Wardhana, Tenaga Ahli Renewable Energy Pusat Studi Energi (PSE) UGM, menekankan bahwa panas bumi bisa menjadi pengganti batubara secara berkelanjutan. “Panas bumi bisa menjadi pengganti batubara secara berkelanjutan, tetapi pendekatan sosial dan keterlibatan masyarakat harus diperkuat,” ujarnya.
Tantangan Sosial dan Lingkungan dalam Proyek Geothermal
Beberapa proyek geothermal sempat menghadapi penolakan masyarakat di berbagai wilayah. Kekhawatiran utama biasanya terkait dampak ekologis dan sosial yang menyertai pembangunan.
Perubahan sumber air, tata ruang masyarakat, dan potensi gangguan lingkungan menjadi sorotan masyarakat lokal. Ahmad menekankan bahwa dampak selalu ada, tetapi bisa diminimalkan melalui mitigasi yang tepat.
“Dampak itu selalu ada, tapi bisa dimitigasi. Yang penting adalah transparansi dan keterlibatan masyarakat sejak awal,” jelasnya.
Kasus di Dieng, Kamojang, dan beberapa lokasi di Nusa Tenggara Timur menunjukkan proyek geothermal bisa berjalan lancar. Kuncinya adalah melibatkan masyarakat sebagai bagian dari pengambilan keputusan sejak tahap perencanaan.
Keterlibatan Masyarakat Kunci Keberhasilan
Masyarakat terdekat seringkali paling sedikit merasakan manfaat proyek, padahal mereka paling terdampak. Hal ini menjadi salah satu isu sosial yang harus diperbaiki untuk mendukung keberlanjutan proyek.
“Biasanya masyarakat terdekat justru paling sedikit merasakan manfaat, padahal mereka yang terdampak. Ini harus diperbaiki,” tegas Ahmad Rahma Wardhana.
Pendekatan sosial yang baik dapat mengurangi konflik dan mempercepat pembangunan energi bersih. Kesadaran masyarakat soal energi dan keterlibatan dalam keputusan membuat transisi energi menjadi lebih adil dan efektif.
Ahmad menambahkan bahwa tidak ada proyek geothermal yang sepenuhnya tanpa dampak. Yang terpenting adalah bagaimana mitigasi dijalankan dan dikomunikasikan secara transparan kepada masyarakat.
“Semua proyek berdampak, termasuk yang terbarukan. Yang penting adalah mitigasinya jelas dan bisa dikelola dengan baik, dibandingkan dengan dampak batubara yang selama ini dirasakan lingkungan. Dengan komunikasi dan keterlibatan masyarakat, proyek geothermal bisa sukses,” jelasnya.
Geothermal Sebagai Energi Bersih dan Terbarukan
Dengan perencanaan tepat dan keadilan sosial dijaga, geothermal bisa menjadi energi bersih yang andal. Energi ini mendukung target Energi Baru Terbarukan (EBT) Indonesia sekaligus memperkuat transisi energi secara berkelanjutan.
Pengembangan geothermal juga berpotensi membuka lapangan kerja dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar. Dengan mekanisme yang adil, dampak sosial dapat diminimalkan dan manfaat ekonomi lokal meningkat.
Energi panas bumi tidak hanya mengurangi ketergantungan pada batubara, tetapi juga menurunkan emisi karbon. Hal ini sejalan dengan komitmen Indonesia untuk mencapai target pengurangan emisi dan transisi energi bersih nasional.
Keberhasilan proyek geothermal juga menjadi contoh bagi sektor energi terbarukan lainnya. Dengan keterlibatan masyarakat, transparansi, dan mitigasi dampak yang jelas, sektor ini bisa menjadi model pengelolaan energi berkelanjutan di Indonesia.
Selain itu, proyek geothermal bisa beroperasi sebagai baseload yang stabil. Keandalan ini membuat geothermal lebih unggul dibandingkan sumber energi terbarukan lain seperti surya dan angin yang produksinya fluktuatif.
Dengan pengelolaan yang tepat, masyarakat bisa ikut merasakan manfaat secara langsung. Hal ini menciptakan keterlibatan sosial yang positif sekaligus mendorong dukungan publik terhadap proyek energi bersih.