PTPP

PTPP Pacu Penataan Portofolio dan Likuiditas Lewat Divestasi Aset Rp 1,69 Triliun

PTPP Pacu Penataan Portofolio dan Likuiditas Lewat Divestasi Aset Rp 1,69 Triliun
PTPP Pacu Penataan Portofolio dan Likuiditas Lewat Divestasi Aset Rp 1,69 Triliun

JAKARTA - PT PP Tbk (PTPP) kembali mempercepat langkah penataan portofolio sebagai bagian dari strategi memperbaiki struktur keuangan. Perseroan kini sedang memproses pelepasan dua aset non-inti dengan total nilai mencapai Rp 1,69 triliun.

Aksi ini dilakukan sebagai respons atas kebutuhan perusahaan untuk memperkuat likuiditas dan meningkatkan fokus pada sektor yang menjadi kompetensi utama. Agenda tersebut sekaligus menjadi bagian dari implementasi rencana strategis jangka panjang yang telah ditetapkan perusahaan.

Divestasi ini mencakup dua anak usaha yang selama ini beroperasi di luar fokus bisnis utama PTPP. Keduanya dinilai tidak lagi menjadi prioritas dalam arah pengembangan perseroan ke depan.

Langkah ini menegaskan tekad PTPP untuk mengoptimalkan efisiensi operasional melalui penataan kembali aset non-inti. Perseroan percaya bahwa strategi ini akan meningkatkan ketahanan cash flow dan mempercepat pemulihan kinerja keuangan.

Divestasi PP Infrastruktur Senilai Rp 1,41 Triliun

Aset pertama yang dilepas adalah PT PP Infrastruktur (PPIN), yang sebelumnya dimiliki PTPP dengan porsi saham mencapai 99,15%. Perusahaan ini akan dialihkan kepada PT Varsha Zamindo Laksana (VZL) beserta afiliasinya.

Berdasarkan keterbukaan informasi yang disampaikan pada Senin, 17 November 2025, PTPP tengah memproses rencana penjualan sebesar 81% atau 621.161 saham PPIN. Nilai transaksi yang ditawarkan kepada VZL mencapai Rp 1,41 triliun.

Manajemen menyebutkan bahwa dana hasil divestasi dapat digunakan untuk memperkuat kegiatan operasional perusahaan. Selain itu, pendanaan tersebut juga dapat dialokasikan untuk mendukung proyek-proyek prioritas yang berada dalam lini bisnis inti.

Setelah transaksi selesai, kepemilikan PTPP di PPIN akan berkurang signifikan menjadi hanya 18,15%. Penurunan ini merupakan bagian dari strategi pelepasan aset yang ditargetkan selesai sebelum akhir 2025.

PTPP menegaskan bahwa PPIN memang masuk ke dalam kategori bisnis non-inti sehingga penjualan saham tersebut merupakan langkah strategis yang selaras dengan rencana konsolidasi perusahaan. Langkah ini juga menjadi upaya memastikan bahwa sumber daya perusahaan diarahkan hanya pada unit-unit bisnis dengan nilai tambah tertinggi.

“Penataan portofolio dan divestasi dilakukan untuk meningkatkan efisiensi operasional, memperbaiki arus kas, serta mendukung program penyehatan keuangan perusahaan,” tegas manajemen PTPP dalam keterangannya. Dua kalimat tersebut menegaskan fokus utama dari langkah divestasi PPIN.

Penjualan Saham CRI sebagai Aksi Kedua Divestasi

Aset kedua yang dilepas adalah kepemilikan PTPP di PT Celebes Railway Indonesia (CRI). Perseroan berniat melepas 47,81% saham CRI kepada PT Solra Energi Terbarukan (SET).

Nilai transaksi untuk pelepasan saham ini mencapai Rp 282,1 miliar. Kesepakatan antara kedua pihak dituangkan dalam perjanjian jual beli saham bersyarat yang berlaku untuk menyelesaikan aksi korporasi tersebut.

Divestasi meliputi penjualan 142.180 saham yang mewakili 47,81% dari total modal ditempatkan dan disetor di CRI. PT Solra Energi Terbarukan sendiri adalah perusahaan yang berdomisili di Jakarta dan tidak memiliki afiliasi dengan PTPP.

Pelepasan aset ini dilakukan untuk mendukung implementasi Rencana Jangka Panjang Perusahaan (RJPP) 2025–2029 bertema “Back to Core”. Dengan strategi tersebut, PTPP akan kembali memusatkan bisnisnya pada sektor konstruksi gedung, infrastruktur, dan EPC.

Ketiga lini bisnis inti tersebut telah berkontribusi lebih dari 80% terhadap pendapatan perseroan. Oleh karena itu, perusahaan menilai bahwa fokus pada bisnis inti dapat meningkatkan efektivitas operasi dan perbaikan fundamental.

Dalam catatan yang ada, CRI dan PPIN memang sudah masuk dalam rencana divestasi sepanjang 2025. Emiten konstruksi pelat merah ini memasukkan total target divestasi senilai Rp 3,06 triliun untuk tahun tersebut.

Artinya, setelah pelepasan dua aset ini senilai Rp 1,69 triliun, PTPP masih memiliki sisa target sekitar Rp 1,37 triliun. Penyelesaian rencana penjualan aset lain masih terus diupayakan perusahaan.

Selain CRI dan PPIN, PTPP juga berencana melepas kepemilikan saham di PT Centurion Perkasa Iman Surabaya dan PT PP Semarang Demak. Khusus PP Semarang Demak, pelepasan akan dilakukan setelah operasi seksi I ditargetkan rampung pada tahun 2027.

Menurut Sekretaris Perusahaan PTPP, Joko Raharjo, proses divestasi terus berlangsung dan ditargetkan dapat tuntas pada akhir 2025. Namun pihak manajemen belum memberikan rincian mengenai sumber sisa target divestasi senilai Rp 1,37 triliun.

“Kami akan fokus pada penyelesaian proses divestasi yang saat ini berjalan,” ujar Joko Raharjo pada Selasa, 18 November 2025. Pernyataan tersebut menandakan keseriusan perusahaan dalam memenuhi target restrukturisasi portofolio.

Pandangan Analis terhadap Dampak Divestasi

Analis Kanaka Hita Solvera, Andhika Cipta Labora, melihat bahwa divestasi yang dilakukan PTPP akan memberikan dampak positif. Menurutnya, perusahaan dapat lebih fokus menjalankan bisnis inti yang lebih efektif dan berdaya saing tinggi.

Ia menilai bahwa arus kas dari hasil divestasi dapat diarahkan kembali untuk pengembangan bisnis utama. Hal ini akan membuat perusahaan memiliki ruang yang lebih besar untuk berinvestasi pada proyek-proyek bernilai strategis.

Sementara itu, Senior Equity Research Kiwoom Sekuritas, Sukarno Alatas, menilai bahwa pelepasan CRI dan PPIN akan memberikan suntikan kas sekitar Rp 1,69 triliun. Jumlah tersebut sangat berarti untuk memperbaiki tekanan likuiditas PTPP sepanjang 2025.

Sukarno menyatakan bahwa aksi ini menjadi katalis jangka pendek yang cukup kuat, meskipun tidak langsung memperbaiki profitabilitas perusahaan. Pasalnya, aset yang dilepas sebelumnya tetap memberikan kontribusi terhadap laba PTPP.

Di sisi lain, Andhika menambahkan bahwa pemulihan emiten BUMN Karya termasuk PTPP berpeluang meningkat pada tahun-tahun mendatang. Ia melihat bahwa potensi penurunan suku bunga Bank Indonesia yang dipengaruhi ekspektasi penurunan suku bunga The Fed akan berdampak positif.

Menurutnya, penurunan suku bunga akan mengurangi beban bunga utang perusahaan dan memperbaiki kinerja keuangan. Selain itu, adanya stimulus pemerintah untuk mendukung ekonomi juga akan membantu mendorong permintaan konstruksi nasional.

“Apabila ekonomi kembali bergairah maka pembangunan konstruksi akan berpeluang untuk meningkat,” ujarnya. Dua kalimat tersebut menggambarkan optimisme terhadap prospek sektor konstruksi.

Sementara itu, Sukarno menilai bahwa kinerja PTPP pada 2026 akan menunjukkan tren pemulihan bertahap. Hal ini didorong oleh likuiditas yang lebih sehat serta fokus yang kembali diarahkan kepada bisnis inti.

Ia mengingatkan bahwa tekanan kinerja sepanjang 2025 serta hilangnya kontribusi laba dari aset yang dijual menjadi risiko yang harus dicermati. Kompetisi tender proyek juga menjadi tantangan tersendiri bagi perusahaan.

Sukarno juga menekankan bahwa rencana merger BUMN Karya belum memiliki kepastian, meskipun berpotensi memberi dampak positif jika berhasil meningkatkan efisiensi. Namun ia juga menilai bahwa konsolidasi bisa berdampak negatif bila justru memberikan beban tambahan bagi PTPP.

Dari sisi valuasi saham, PTPP saat ini berada pada price to book value (PBV) yang sangat rendah yaitu 0,19x. Kondisi ini membuat sahamnya dinilai murah oleh pasar, meskipun investor masih menanti kepastian eksekusi divestasi aset.

“Investor perlu mencermati apakah divestasi menghasilkan gain jangka pendek saja atau benar-benar memperbaiki kinerja inti,” ujar Sukarno. Dua kalimat tersebut menjadi penutup pandangan terkait arah fundamental perusahaan.

Dengan mempertimbangkan berbagai faktor, Sukarno merekomendasikan untuk hold atau buy saham PTPP dengan target harga 12 bulan di kisaran Rp 450 hingga Rp 500 per saham. Rekomendasi tersebut sejalan dengan potensi pemulihan perusahaan pasca-restrukturisasi.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index