Industri Aluminium

Dorong Hilirisasi, Industri Aluminium Indonesia Siap Capai Produksi Lebih Besar

Dorong Hilirisasi, Industri Aluminium Indonesia Siap Capai Produksi Lebih Besar
Dorong Hilirisasi, Industri Aluminium Indonesia Siap Capai Produksi Lebih Besar

JAKARTA - Program hilirisasi dan sejumlah proyek ekspansi menjadi motor utama peningkatan kapasitas produksi industri aluminium nasional. Namun, penguatan industri ini masih membutuhkan strategi optimal agar manfaatnya terasa luas bagi sektor hilir.

Kapasitas produksi domestik mulai mampu mengurangi ketergantungan impor. Hal ini tercermin dari neraca ekspor-impor produk berbasis alumina yang menunjukkan tren positif sepanjang Januari–Agustus 2025.

Tren Ekspor-Impor Aluminium dan Alumina

Ekspor alumina tercatat mencapai 3,66 juta ton pada periode tersebut. Sementara ekspor aluminium hydroxide sebesar 124.032 ton dan aluminium ingot mencapai 366.945 ton.

Di sisi lain, Indonesia masih mengimpor 816.103 ton alumina. Aluminium hydroxide dan aluminium ingot masing-masing masih diimpor sebanyak 59.039 ton dan 59.679 ton.

Peningkatan kapasitas produksi domestik, termasuk dari proyek smelter PT Bintan Alumina Indonesia dan PT Borneo Alumindo Prima, mulai mengurangi ketergantungan impor. Namun, ekspor aluminium hydroxide dan ingot masih kalah dibanding alumina.

Artinya, tantangan ke depan adalah mendorong hilirisasi alumina menjadi aluminium ingot dan produk turunan lainnya. Dengan begitu, nilai tambah di dalam negeri bisa meningkat dan ekspor tidak lagi hanya berupa bahan antara.

Kapasitas Produksi dan Proyeksi Ekspansi

Hingga semester I-2025, output alumina refinery mencapai 2,01 juta ton. Smelter aluminium menghasilkan 352.418 ton aluminium dengan tingkat utilisasi 90,95%, sedangkan refinery alumina mencapai 63,91%.

Total kapasitas input smelter aluminium memerlukan 1,55 juta ton alumina per tahun. Kapasitas output aluminium bisa mencapai 775.000 ton per tahun, dan produksi aluminium premier diperkirakan menembus 1 juta ton pada tahun depan.

Kapasitas produksi aluminium diproyeksikan meningkat menjadi 1,02 juta ton pada 2026 dan 1,27 juta ton pada 2027. Lonjakan ini didorong oleh ekspansi PT Inalum, optimalisasi output PT Hua Chin, serta beroperasinya PT Kalimantan Aluminium Industry pada 2026–2027.

Peningkatan kapasitas akan memperkuat pasokan bahan baku untuk industri hilir. Industri kabel listrik, aluminium plate, industri pengecoran logam, hingga ekstrusi membutuhkan sekitar 1 juta ton aluminium per tahun.

Kebijakan dan Insentif untuk Optimalisasi Industri

Kemenperin menekankan perlunya dukungan kebijakan dari pemerintah. Salah satunya adalah menekan biaya energi yang menjadi komponen terbesar dalam produksi aluminium.

Industri aluminium diusulkan menjadi penerima manfaat Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT). Dengan HGBT, harga gas bisa lebih murah dibanding harga gas komersial US$ 12–14 per MMBTU, hanya menjadi US$ 6–7 per MMBTU.

Selisih harga gas akan berdampak positif pada biaya produksi. Dengan biaya produksi lebih rendah, industri aluminium dapat menurunkan harga produk akhir dan memperkuat daya saing di pasar global.

Selain itu, pemerintah tengah mempertimbangkan kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) untuk Smelter Grade Alumina (SGA). Tujuannya agar alumina domestik tidak sepenuhnya diekspor, tetapi diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan smelter dalam negeri.

Inalum menyambut baik usulan DMO dan menilai insentif harga gas akan meningkatkan margin. Margin lebih baik diyakini dapat menarik investasi baru dan memperkuat ekosistem industri aluminium nasional.

Meningkatkan Permintaan Aluminium di Dalam Negeri

Meski pasokan meningkat, permintaan aluminium domestik masih rendah. Konsumsi aluminium per kapita Indonesia hanya sekitar 1,5 kg per tahun, jauh di bawah Eropa dan China yang mencapai 20 kg per kapita.

Salah satu strategi adalah mengganti penggunaan kayu dan plastik dengan aluminium. Jika kayu ilegal diberantas dan harga kayu naik, aluminium dapat menjadi substitusi yang lebih menarik bagi industri.

Pengembangan industri kendaraan listrik dan energi baru terbarukan diperkirakan mendongkrak kebutuhan aluminium di masa depan. Inalum memperkirakan konsumsi aluminium nasional berpotensi meningkat 600% dalam 30 tahun ke depan.

Hilirisasi alumina hingga produk jadi diharapkan mampu memperkuat posisi Indonesia di pasar global. Selain itu, nilai tambah domestik akan meningkat, menciptakan efek ekonomi berantai bagi industri hilir dan masyarakat.

Dengan sinergi antara kebijakan pemerintah, proyek ekspansi, dan penguatan industri hilir, masa depan industri aluminium Indonesia diprediksi semakin kompetitif. Pengembangan yang berkelanjutan akan memastikan Indonesia tidak hanya menjadi eksportir bahan mentah, tetapi juga produsen produk aluminium bernilai tinggi.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index