PLTU

Co-Firing Biomassa di PLTU Dorong Transisi Energi Menuju Net Zero

Co-Firing Biomassa di PLTU Dorong Transisi Energi Menuju Net Zero
Co-Firing Biomassa di PLTU Dorong Transisi Energi Menuju Net Zero

JAKARTA - Hingga Oktober 2025, jumlah Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang menggunakan co-firing meningkat signifikan. Teknologi pencampuran biomassa dengan batubara kini diterapkan di 47 pembangkit, naik drastis dibandingkan 6 PLTU pada tahun 2020.

Plt. Dirjen Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, Tri Winarno, menyatakan bahwa tren ini menunjukkan komitmen pemerintah terhadap transisi energi. “Pada saat ini, sampai di akhir Oktober 2025, jumlahnya melonjak menjadi 47 pembangkit,” ujarnya dalam rapat dengar pendapat di Komisi XII DPR, Kamis, 13 November 2025.

Peningkatan jumlah PLTU pengguna co-firing juga berdampak pada pemanfaatan biomassa secara nasional. Co-firing menjadi salah satu solusi untuk mengurangi ketergantungan terhadap batubara dan menurunkan emisi karbon.

Kontribusi Biomassa terhadap Produksi Listrik

Volume biomassa yang digunakan melalui teknologi co-firing tercatat mencapai 1,8 juta ton. Produksi listrik dari biomassa ini setara dengan 1,78 juta megawatt hour (MWh), meski secara total masih kalah dibanding listrik dari batubara di unit yang sama, yaitu 193 juta TWh.

Rasio pemanfaatan biomassa terhadap batubara di PLTU yang menerapkan co-firing mencapai 3,36%. Angka ini menunjukkan potensi pertumbuhan penggunaan energi terbarukan yang masih terbuka luas di sektor ketenagalistrikan.

Co-firing tidak hanya memanfaatkan sumber energi lokal, tetapi juga mengurangi limbah biomassa yang sebelumnya kurang dimanfaatkan. Selain itu, teknologi ini mendukung keberlanjutan lingkungan dengan menekan emisi karbon dari pembakaran batubara murni.

Strategi Transisi Energi dan Net Zero Emission

Tri Winarno menekankan bahwa co-firing menjadi bagian dari strategi transisi energi pemerintah. Langkah ini sejalan dengan target Net Zero Emission pada 2060 yang ditetapkan dalam Kebijakan Energi Nasional (KEN).

Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) memproyeksikan kebutuhan kapasitas pembangkit listrik untuk mencapai target ini. “Dari RUKN telah diproyeksi bahwa kebutuhan kapasitas pembangkit untuk mencapai Net Zero Emission pada tahun 2026 akan mencapai 443 GW,” jelas Tri.

Strategi ini juga mencerminkan langkah gradual dalam mengurangi ketergantungan batubara. Pemanfaatan biomassa melalui co-firing dianggap sebagai jembatan menuju pembangkit energi yang lebih bersih dan ramah lingkungan.

Selain itu, integrasi co-firing membuka peluang inovasi teknologi pembangkit listrik berbasis energi terbarukan. Pemerintah menargetkan peningkatan rasio energi terbarukan dalam bauran energi nasional, sejalan dengan komitmen global terhadap pengurangan emisi.

Tantangan dan Peluang Co-Firing

Meskipun potensi besar, co-firing masih menghadapi tantangan dalam hal pasokan biomassa yang stabil dan harga yang kompetitif. Ketersediaan biomassa yang bervariasi dapat memengaruhi kontinuitas produksi listrik di PLTU.

Namun, pemerintah terus mendorong pengembangan rantai pasok biomassa yang efisien. Dukungan kebijakan dan insentif diharapkan mampu meningkatkan rasio penggunaan biomassa dan mendorong PLTU beralih ke energi lebih bersih.

Co-firing juga menjadi peluang bagi inovasi lokal dan investasi di sektor energi hijau. Penerapan teknologi ini dapat mendorong penciptaan lapangan kerja baru dan pengembangan industri biomassa nasional.

Selain itu, kolaborasi antara pemerintah, swasta, dan akademisi dapat mempercepat penelitian untuk meningkatkan efisiensi co-firing. Teknologi baru diharapkan dapat meningkatkan rasio biomassa terhadap batubara, sekaligus menekan emisi gas rumah kaca lebih signifikan.

Dengan meningkatnya jumlah PLTU pengguna co-firing, Indonesia menunjukkan langkah konkret menuju transisi energi. Pemanfaatan biomassa sebagai energi tambahan membuka jalan menuju pencapaian Net Zero Emission 2060, sekaligus mendukung kemandirian energi nasional.

Strategi ini menegaskan bahwa transisi energi tidak hanya tentang mengganti sumber energi, tetapi juga mengoptimalkan teknologi yang ada untuk hasil yang lebih ramah lingkungan. Dengan dukungan kebijakan, inovasi teknologi, dan investasi, co-firing bisa menjadi pilar penting dalam ketenagalistrikan Indonesia di masa depan.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index