JAKARTA - Potensi besar industri fintech lending di Indonesia kembali menarik perhatian investor asing. Ketua Umum Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Entjik S. Djafar menyebut, pasar Indonesia yang sangat besar dan masih tingginya kesenjangan pembiayaan menjadi alasan utama investor global menanamkan modalnya di sektor ini.
“Yang dilirik oleh investor adalah market dari Indonesia ini sangat besar. Kita nomor empat terbesar di dunia kan penduduknya, itu satu,” ujar Entjik di sela acara Singapore Fintech Festival (SFF) 2025 pada Rabu, 12 November 2025. Ia menambahkan, “Yang kedua, daya tarik investor juga datang dari kredit gap di Indonesia yang masih sangat tinggi.”
Menurutnya, kesenjangan pembiayaan atau credit gap di Indonesia masih berada di kisaran Rp1.650 triliun. Kondisi ini menunjukkan besarnya kebutuhan pendanaan masyarakat yang belum terpenuhi oleh lembaga keuangan konvensional.
“Artinya ada kebutuhan dari masyarakat ya sebesar Rp1.650 triliun yang belum bisa di-adopt, belum bisa di-serve, dilayani oleh bank, multifinance, conventional financial company,” jelas Entjik.
Peluang Pasar dan Sumber Pendanaan Fintech Lending
Potensi pasar yang luas inilah yang kemudian memicu minat tinggi investor global. Entjik menuturkan bahwa saat ini sekitar 30 persen sumber pendanaan di industri fintech lending Indonesia berasal dari investor asing.
Sementara itu, mayoritas pendanaan masih didominasi oleh perbankan nasional yang melihat sektor ini sebagai instrumen baru untuk menyalurkan kredit dengan risiko yang terukur. Hal ini mencerminkan sinergi yang kuat antara investor global dan lembaga keuangan domestik.
Mengacu data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), industri peer-to-peer (P2P) lending di Indonesia mencatatkan pertumbuhan outstanding pembiayaan sebesar 22,16 persen secara tahunan (year-on-year/YoY) pada September 2025. Nilainya mencapai Rp90,99 triliun.
Angka tersebut meningkat dibandingkan posisi Agustus 2025 yang tumbuh 21,62 persen YoY. Meski pertumbuhan terjadi cukup signifikan, tingkat risiko kredit agregat atau TWP90 per September 2025 juga sedikit naik ke posisi 2,82 persen dari 2,60 persen pada bulan sebelumnya.
Kehati-hatian Jadi Kunci Keberlanjutan Fintech Lending
Sales Director Credit Bureau Indonesia (CBI), Peter, menilai pertumbuhan pesat fintech lending dan buy now pay later (BNPL) di Indonesia berjalan beriringan dengan penerapan prinsip kehati-hatian dalam penyaluran kredit.
Ia menegaskan, industri fintech saat ini semakin disiplin dalam menerapkan prosedur credit scoring bahkan untuk pinjaman dengan nominal kecil. “Jadi se-pruden itu gitu ya, istilahnya barang [pinjaman] Rp100.000, ah udahlah enggak usah cek kredit reportnya. Enggak begitu ternyata. Se-pruden itu juga sudah dicek,” katanya.
Menurut Peter, langkah ini penting agar industri fintech tidak hanya tumbuh cepat, tetapi juga sehat secara fundamental. Prinsip kehati-hatian ini melindungi konsumen dari risiko gagal bayar dan menghindari beban utang berlebih di tengah tren digitalisasi finansial yang semakin masif.
Ia menambahkan, manajemen risiko yang baik—baik sebelum maupun sesudah pemberian pinjaman—adalah elemen penting untuk menjaga non-performing loan (NPL) tetap di level sehat.
Peran Data dan Teknologi dalam Pengelolaan Risiko
Peter juga menyoroti pentingnya pemanfaatan data kredit dan sistem peringatan dini (early warning system) dalam mendeteksi potensi risiko. Menurutnya, sistem ini membantu lembaga pemberi pinjaman mengantisipasi permasalahan keuangan debitur sejak awal.
Dengan pendekatan berbasis data, lembaga fintech dapat menilai kemampuan bayar nasabah secara lebih akurat dan cepat. Ini membantu menjaga stabilitas industri sekaligus melindungi konsumen agar tidak terjebak dalam pinjaman melebihi kemampuan finansial mereka.
Peter menegaskan, CBI berkomitmen menyediakan data kredit yang akurat dan real-time agar keputusan pemberian pinjaman bisa diambil tepat waktu. “Sehingga keputusannya tidak telat gitu. Jadi murni kami ngomongin data dan kami melakukan inovasi-inovasi supaya juga yang inklusi keuangannya terjadi,” ujarnya.
Ia menambahkan, pihaknya juga berupaya memperluas jangkauan layanan agar masyarakat yang belum memiliki akses ke lembaga keuangan formal (unbanked population) dapat turut serta dalam ekosistem keuangan digital. Dengan demikian, inklusi keuangan bisa meningkat secara signifikan.
Arah Masa Depan Fintech Lending Indonesia
Besarnya potensi pasar fintech lending di Indonesia jelas menunjukkan bahwa sektor ini akan terus berkembang. Dengan kesenjangan kredit yang masih tinggi, ruang bagi pelaku usaha dan investor untuk berinovasi masih sangat terbuka.
Selain itu, dukungan regulasi yang diberikan oleh OJK dan kolaborasi dengan lembaga keuangan tradisional menjadi faktor penting yang menjaga stabilitas sektor ini.
Kehadiran investor asing juga diharapkan membawa transfer pengetahuan dan peningkatan kapasitas teknologi, terutama dalam hal credit risk management, data analytics, dan pengembangan produk keuangan yang inklusif.
Industri fintech lending tidak hanya mendorong pertumbuhan ekonomi digital nasional, tetapi juga berperan penting dalam memperluas akses pembiayaan ke segmen masyarakat yang belum tersentuh bank.
Dalam konteks jangka panjang, kombinasi antara pasar besar, inovasi teknologi, dan regulasi yang adaptif akan menjadikan Indonesia salah satu ekosistem fintech paling potensial di dunia.
Investor global pun tampaknya semakin percaya diri untuk menanamkan modalnya, karena melihat tren pertumbuhan yang kuat dan arah kebijakan pemerintah yang mendukung inklusi finansial digital.
Dengan ekosistem yang semakin matang dan penerapan tata kelola yang baik, industri fintech lending Indonesia siap melaju sebagai salah satu mesin penggerak utama ekonomi digital nasional.