JAKARTA - Di era ketika teknologi dan kecerdasan buatan (AI) semakin memengaruhi cara manusia berinteraksi, Wakil Menteri Luar Negeri RI Arrmanatha Nasir mengingatkan pentingnya menjaga nilai toleransi dan kemanusiaan. Ia menekankan bahwa kemajuan teknologi seharusnya menjadi jembatan untuk mempererat hubungan antarumat, bukan memisahkan mereka.
Pesan itu disampaikan Arrmanatha dalam jamuan malam Konferensi Internasional Literasi Keagamaan Lintas Budaya (LKLB) yang digelar oleh Institut Leimena di Jakarta pada Selasa malam. Dalam forum yang dihadiri berbagai tokoh lintas agama dan budaya itu, ia menyoroti tantangan besar yang dihadapi dunia akibat perkembangan teknologi yang begitu cepat.
Menurutnya, di tengah derasnya arus digitalisasi, nilai-nilai kemanusiaan dan sikap saling menghormati perlu dijaga agar tidak tergerus. “Kita harus berusaha untuk memastikan teknologi menjadi alat bagi kita memajukan toleransi,” ujar Wamenlu RI dalam sambutannya.
Ia menambahkan bahwa komunikasi kini memang semakin mudah dan cepat berkat teknologi, tetapi pemahaman antarperadaban tidak bisa dibangun secara instan. Dibutuhkan dialog yang mendalam, konsistensi, serta keterbukaan hati untuk saling mendengar dan belajar dari perbedaan.
Tantangan Kemanusiaan di Tengah Pengaruh Teknologi dan Kecerdasan Buatan
Arrmanatha menegaskan bahwa perkembangan teknologi yang pesat membawa dampak besar pada perilaku sosial manusia. Kini, kecerdasan buatan memiliki peran penting dalam mengolah informasi, membentuk opini publik, bahkan memengaruhi emosi individu di ruang digital.
Situasi ini menuntut manusia untuk lebih bijak dalam memanfaatkan teknologi, agar tidak terjebak dalam polarisasi dan disinformasi. “Kita tidak boleh membiarkan teknologi mendikte cara kita memahami satu sama lain,” ujarnya.
Menurutnya, AI memang memberikan banyak manfaat dalam kehidupan modern, tetapi juga dapat memperdalam jurang perbedaan jika digunakan tanpa kesadaran moral dan etika. Oleh karena itu, pemerintah dan masyarakat perlu bekerja sama untuk menanamkan nilai tanggung jawab digital.
Dalam konteks diplomasi global, Indonesia terus memperjuangkan agar kemajuan teknologi tidak mengikis nilai toleransi dan moderasi. Politik luar negeri Indonesia berperan aktif dalam mempromosikan perdamaian dunia melalui berbagai forum internasional.
Salah satu wujud nyata komitmen itu adalah partisipasi aktif Indonesia dalam Aliansi Peradaban Perserikatan Bangsa-Bangsa atau United Nations Alliance of Civilizations (UNAOC). Melalui wadah ini, Indonesia berkontribusi untuk memperkuat kerja sama lintas budaya dan agama di tingkat global.
Arrmanatha mengingatkan bahwa tantangan global seperti ujaran kebencian, radikalisme digital, dan misinformasi harus dihadapi dengan pendekatan yang berlandaskan pada nilai kemanusiaan. Teknologi, menurutnya, harus digunakan untuk menyebarkan empati, bukan memperuncing perbedaan.
Indonesia Dorong Dialog Lintas Budaya Melalui Diplomasi dan Pendidikan
Dalam pidatonya, Arrmanatha menyoroti bagaimana Indonesia telah menjadi contoh nyata dalam membangun jembatan antarperadaban. Ia menyebut Forum Global UNAOC yang pernah digelar di Bali pada tahun 2014 sebagai salah satu tonggak penting upaya diplomasi perdamaian Indonesia.
Forum tersebut, kata dia, menegaskan pentingnya dialog, toleransi, dan inklusivitas sebagai fondasi bagi perdamaian berkelanjutan. “Kita ingin memastikan bahwa kerja sama lintas budaya dan agama tidak hanya berhenti pada wacana, tetapi terwujud dalam tindakan nyata,” tegasnya.
Selain melalui forum global, Arrmanatha juga menjelaskan bahwa UNAOC terus memperluas kolaborasi dengan organisasi regional seperti ASEAN. Kerja sama itu mencakup bidang pendidikan, pelatihan, serta pemanfaatan teknologi untuk melawan ujaran kebencian.
Menurutnya, pendidikan memainkan peran penting dalam menanamkan nilai saling menghormati sejak dini. Dengan pendidikan yang berorientasi pada empati, anak-anak generasi digital dapat tumbuh menjadi manusia yang terbuka dan menghargai perbedaan.
ASEAN sendiri telah mengakui pentingnya dialog lintas budaya dalam dokumen Visi ASEAN 2045. Visi tersebut menekankan bahwa perdamaian dan stabilitas kawasan hanya dapat terwujud jika masyarakatnya mengedepankan sikap saling menghargai.
“Bagi ASEAN, keberagaman bukanlah halangan, tetapi merupakan sumber daya terbesar,” tutur Arrmanatha dalam pidatonya. Pernyataan ini mencerminkan pandangan bahwa pluralitas di kawasan Asia Tenggara adalah kekuatan untuk menghadapi tantangan global.
Dialog Lintas Agama Sebagai Kunci Perdamaian Dunia
Arrmanatha menilai bahwa kegiatan seperti Konferensi LKLB yang digelar Institut Leimena merupakan wujud konkret diplomasi kemanusiaan Indonesia. Forum semacam ini menjadi ruang bagi berbagai pihak untuk membangun saling pengertian lintas keyakinan secara damai.
Ia meyakini bahwa dialog lintas budaya dan keagamaan adalah cara terbaik untuk menavigasi perbedaan. “Kita harus belajar menghadapi perbedaan dengan cara yang baik dan bijak, bukan dengan ketakutan,” ucapnya tegas.
Menurut Wamenlu, dunia membutuhkan lebih banyak ruang diskusi yang mendorong kerja sama antarumat beragama. Hal ini penting agar teknologi tidak menggantikan nilai-nilai dasar kemanusiaan yang menjadi perekat masyarakat global.
Ia pun menegaskan komitmen Kementerian Luar Negeri RI untuk terus memperjuangkan moderasi dan inklusivitas di berbagai forum internasional. Indonesia, kata dia, akan terus berada di garis depan untuk mempromosikan perdamaian berbasis dialog.
Bagi Arrmanatha, perdamaian tidak akan tercapai hanya dengan perjanjian politik atau kesepakatan diplomatik. Perdamaian sejati hanya bisa terwujud jika ada rasa saling memahami, menghargai, dan empati antarumat manusia.
Ia menutup sambutannya dengan mengajak seluruh peserta konferensi untuk menjadikan teknologi sebagai sarana memperkuat solidaritas global. “Kita harus memastikan bahwa kemajuan teknologi sejalan dengan kemajuan moral,” katanya.
Harapan Baru untuk Dunia yang Lebih Toleran dan Inklusif
Melalui Konferensi LKLB, Indonesia kembali menunjukkan perannya sebagai pelopor diplomasi berbasis kemanusiaan. Sebagai negara dengan keberagaman budaya dan agama yang tinggi, Indonesia memiliki tanggung jawab moral untuk menjadi teladan dalam membangun toleransi dunia.
Arrmanatha menilai, dunia saat ini tengah memasuki masa transisi sosial akibat kemajuan teknologi dan AI. Namun, perubahan itu seharusnya tidak menghapus nilai-nilai universal tentang kebaikan, keadilan, dan penghormatan terhadap perbedaan.
Ia mengingatkan bahwa teknologi hanyalah alat, sementara manusialah yang menentukan bagaimana alat itu digunakan. Jika digunakan dengan bijak, teknologi bisa menjadi kekuatan yang menyatukan, bukan memecah belah.
Oleh karena itu, diplomasi Indonesia tidak hanya berbicara tentang kepentingan politik atau ekonomi, tetapi juga tentang nilai-nilai kemanusiaan universal. Upaya seperti LKLB menjadi wadah strategis untuk membangun jaringan global yang berpihak pada perdamaian.
Wamenlu juga berharap agar generasi muda tidak hanya menjadi pengguna teknologi, tetapi juga menjadi penjaga nilai-nilai toleransi di dunia digital. “Kita membutuhkan generasi yang cerdas secara teknologi dan matang secara moral,” tegasnya.
Pesan itu menjadi penutup yang kuat dalam pidato Arrmanatha di hadapan para tokoh lintas agama dan budaya dunia. Dengan semangat tersebut, Indonesia berharap dapat terus berkontribusi membangun dunia yang damai, inklusif, dan saling menghargai di era digital.