JAKARTA - Fenomena viral tentang “rahim copot” membuat banyak orang penasaran dan khawatir, terutama ibu hamil. Dokter spesialis obstetri dan ginekologi sekaligus International Board Certified Lactation Consultant (IBCLC), dr. Amarylis Febrina Choirin Nisa Fathoni, SpOG, IBCLC, menjelaskan kondisi ini secara medis di Jakarta Pusat.
Menurutnya, jika rahim benar-benar copot, organ tersebut tidak bisa disambung kembali. Konsekuensi jangka panjangnya cukup berat, termasuk ketidakmampuan untuk menstruasi dan tidak bisa memiliki anak.
Meskipun begitu, fungsi hormonal ovarium tetap berjalan jika indung telur masih utuh. “Secara hormon, tubuh masih ovulasi. Cuma karena enggak ada endometrium, ya enggak ada darah mens yang keluar,” jelas dr. Amarylis.
Kondisi seperti ini memang sangat jarang terjadi dan biasanya berhubungan dengan teknik persalinan yang tidak tepat. Dr. Amarylis menekankan bahwa dunia medis selalu menghadapi situasi yang tidak terduga meski harapannya adalah persalinan berjalan aman dan lancar.
Mekanisme Medis dan Risiko Inversio Uteri
Rahim normalnya disokong oleh ligamentum dan jaringan penopang kuat yang menjaga posisinya. Namun, dalam kasus tertentu, seperti penanganan persalinan yang terlalu cepat atau teknik yang salah, dapat terjadi inversio uteri, yaitu rahim terbalik atau terdorong keluar.
“Kalau sekolah kedokteran obgyn, kita pasti sudah ketemu kasus inversio ini,” ujar dr. Amarylis. Kondisi ini jarang terjadi, tetapi tetap menjadi risiko yang harus diwaspadai oleh tenaga kesehatan.
Proses biologis normal dimulai dari pembuahan di tuba falopi hingga embrio berkembang di rahim. “Nah, kalau rahimnya enggak ada, embrio mau jalan ke mana? Kan sudah enggak ada kamarnya,” tambahnya.
Dalam kasus yang viral ini, pasien beruntung dapat tertolong dan kondisinya stabil. Dr. Amarylis juga menyampaikan empati kepada tenaga kesehatan yang menangani situasi ini, mengingat tekanan dan kepanikan saat kejadian pasti sangat tinggi.
Edukasi, Pencegahan, dan Pilihan Penolong Persalinan
Kejadian ini menekankan pentingnya memilih tenaga kesehatan dan penolong persalinan yang kompeten. Kontrol kehamilan secara rutin juga menjadi kunci untuk meminimalkan risiko komplikasi serius selama persalinan.
Dr. Amarylis menekankan bahwa tenaga medis harus terus memperbarui keterampilan dan menangani pasien dengan hati-hati. “Supaya hal seperti ini bisa dicegah,” ujarnya, menekankan pentingnya prosedur yang tepat untuk keselamatan ibu dan bayi.
Kasus “rahim copot” yang dibagikan sebelumnya oleh influencer kesehatan dr. Gia Pratama memicu kontroversi. Cerita tersebut bertujuan sebagai edukasi medis, namun mendapat reaksi keras karena dianggap mengerikan dan berpotensi menimbulkan kesalahpahaman.
Penjelasan ilmiah dari dr. Amarylis hadir untuk menenangkan kekhawatiran masyarakat. Dengan pemahaman medis yang benar, masyarakat bisa lebih sadar akan pentingnya layanan persalinan aman dan profesional.
Memahami risiko komplikasi persalinan juga membantu calon orang tua membuat keputusan yang tepat terkait tempat bersalin dan penolong persalinan. Edukasi sejak dini dan pemantauan rutin adalah cara terbaik untuk mencegah insiden medis langka seperti rahim copot.
Kesadaran ini juga membuka diskusi tentang perlunya standar kompetensi tenaga kesehatan yang terus diperbarui. Dengan begitu, kasus serupa bisa diminimalkan, dan keselamatan ibu hamil serta bayi tetap menjadi prioritas utama.
Dr. Amarylis menutup penjelasannya dengan harapan agar masyarakat semakin memahami kondisi medis langka ini. Informasi yang akurat diharapkan dapat menggantikan mitos atau hoaks yang beredar di media sosial.