JAKARTA - Menteri Koordinator Bidang Pangan, Zulkifli Hasan, menegaskan harga listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) sudah final. Tarif ditetapkan sebesar 20 sen per kilo watt hour (kWh).
Penetapan harga ini tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2025. Perpres tersebut mengatur penanganan sampah perkotaan melalui pengolahan menjadi energi terbarukan dengan teknologi ramah lingkungan.
Dalam Waste to Energy Investment Forum 2025, Rabu, 19 November 2025, Zulkifli menegaskan tidak ada tawar-menawar terkait tarif. "Kita dalam Perpres itu kita sepakati, ada 1 tarif, dan itu final, tidak ada perundingan, tarifnya 20 sen per kWh," jelasnya.
Perpres 109 Permudah Proses Investasi
Zulkifli menuturkan, berbagai aturan yang rumit sudah dipangkas melalui Perpres 109. Kini pengusaha hanya tinggal mengajukan minatnya untuk mengembangkan PLTSa ke Kementerian Lingkungan Hidup.
Prosedur yang lebih sederhana ini diharapkan bisa mendorong investor masuk ke sektor pengolahan sampah menjadi energi. Dengan mekanisme jelas, proyek yang sebelumnya mandek selama 11 tahun bisa mulai berjalan.
Pemda nantinya akan menyiapkan lahan dan menjamin suplai sampah untuk pembangkit. Hal ini membuat pengusaha tidak perlu khawatir soal ketersediaan bahan baku sampah untuk produksi listrik.
Selain itu, soal tipping fee dan beban lainnya menjadi tanggung jawab pemerintah. "Pengusaha dijamin mendapat 20 sen per kWh, tarifnya pasti 20 sen. Berapa beban Pemda atau pusat itu bukan urusan pengusaha, itu urusan kita," tambah Zulkifli.
Kesempatan Investasi dan Pengembangan PLTSa
Dengan tarif yang pasti, sektor PLTSa kini menawarkan kepastian keuntungan bagi investor. Hal ini diharapkan mendorong pertumbuhan pembangkit listrik dari sampah di seluruh Indonesia.
Investasi di PLTSa tidak lagi terhambat birokrasi yang panjang. Para pengusaha bisa fokus pada pembangunan infrastruktur dan operasional pembangkit listrik.
Proyek ini juga sejalan dengan upaya pemerintah mengurangi sampah perkotaan. Dengan energi yang dihasilkan dari sampah, selain mengurangi polusi, listrik ramah lingkungan bisa diproduksi secara berkelanjutan.
Dampak dan Prospek Pengolahan Sampah Menjadi Energi
PLTSa dapat menjadi solusi strategis untuk masalah sampah kota besar. Energi yang dihasilkan dapat dialirkan ke jaringan listrik nasional sehingga mendukung kemandirian energi.
Selain itu, proyek ini menegaskan komitmen pemerintah pada teknologi ramah lingkungan. Dengan tarif listrik yang pasti, investor mendapatkan jaminan return yang jelas, mendorong partisipasi lebih luas dari sektor swasta.
Ke depan, PLTSa juga berpotensi menciptakan lapangan kerja baru. Mulai dari pengumpulan, pemrosesan, hingga operasional pembangkit, berbagai aktivitas ini bisa menyerap tenaga kerja lokal.
Selain aspek ekonomi, proyek PLTSa memiliki manfaat sosial dan lingkungan. Pengurangan volume sampah kota secara signifikan dapat menurunkan risiko banjir dan polusi, sekaligus meningkatkan kualitas hidup masyarakat.
Dengan Perpres 109/2025, pemerintah menegaskan keseriusan dalam mengelola sampah secara modern. Kepastian tarif listrik 20 sen per kWh membuat sektor ini lebih menarik bagi investor domestik dan internasional.
Bagi pemerintah daerah, proyek PLTSa menawarkan solusi ganda: pengelolaan sampah lebih efisien dan tambahan pasokan listrik untuk kebutuhan lokal. Pemda hanya perlu menyediakan lahan dan menjamin suplai sampah, tanpa harus menanggung risiko finansial pengusaha.
Investasi yang jelas dan prosedur sederhana diharapkan mampu mendorong proyek-proyek PLTSa baru. Hal ini juga menjadi langkah konkret menuju pengurangan sampah perkotaan dan transisi energi bersih.
Ke depan, tarif 20 sen per kWh dapat menjadi acuan untuk pengembangan teknologi energi terbarukan lainnya. Dengan kepastian ini, pemerintah berharap sektor energi ramah lingkungan dapat tumbuh lebih cepat.
Mekanisme ini juga memberi kepastian bagi seluruh pihak terkait, mulai dari investor hingga masyarakat. Dengan pengelolaan yang terstruktur, proyek PLTSa bisa berjalan lancar dan berkelanjutan.