JAKARTA - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memprediksi target bauran energi baru terbarukan (EBT) dalam energi primer nasional 2025 sulit tercapai. Hingga Oktober 2025, bauran EBT baru mencapai 14,4% atau setara 15,47 gigawatt (GW).
Plt. Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, Tri Winarno, menyebut sisa gap mencapai sekitar 2% untuk mencapai target 15,9% yang ditetapkan dalam RUPTL PLN 2025—2034. “Kalau 2025 kayaknya masih 2% [tersisa], kayaknya belum ya,” ujar Tri di Gedung Parlemen, Jumat, 14 November 2025.
Total kapasitas terpasang pembangkit listrik Indonesia mencapai 107 GW pada Oktober 2025. Dari jumlah ini, porsi pembangkit EBT tercatat sebesar 14,4% atau 15,47 GW.
Komposisi Pembangkit Energi Terbarukan
Pembangkit listrik tenaga air (PLTA) mendominasi EBT dengan porsi 7,1% atau setara 7,57 GW. Selanjutnya, pembangkit listrik tenaga biomassa menyumbang 3% atau 3,17 GW.
Pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) tercatat 2,6% atau 2,74 GW, sedangkan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) menyumbang 1,3% atau 1,37 GW. Pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB) masih sangat kecil, hanya 0,1% atau 0,15 GW.
Tri juga menyebut PLTGB termasuk EBT dengan porsi 0,4% atau kapasitas 0,45 GW. Dia menekankan PLTU tetap diperlukan untuk menjaga keandalan sistem tenaga listrik nasional.
Tantangan Target EBT 2025
Kementerian ESDM telah menurunkan target bauran EBT 2025 dari 23% menjadi 15,9%. Direktur Jenderal EBTKE, Eniya Listiani Dewi, menilai target awal 23% sangat sulit dicapai tahun ini.
Pada 2024, capaian EBT dalam bauran energi nasional hanya 14,68%, padahal seharusnya 19,5%. Target 23% baru diproyeksikan tercapai pada 2030, sementara target jangka panjang hingga 2045 ditetapkan 46% untuk mendukung Indonesia Emas.
Keterlambatan ini menunjukkan bahwa pengembangan EBT masih menghadapi sejumlah tantangan teknis dan finansial. Tri menekankan tuntutan dekarbonisasi semakin kuat, baik dari kebijakan nasional maupun dinamika ekonomi global.
Rencana Penambahan Kapasitas Pembangkit EBT
Dalam RUPTL PLN 2025—2034, pemerintah menargetkan 76% dari total tambahan kapasitas berasal dari EBT dan sistem penyimpanan energi (storage). Total penambahan kapasitas diproyeksikan mencapai 69,5 GW, dengan pembangkit EBT 42,6 GW (61%).
Storage, termasuk Battery Energy Storage System (BESS) dan PLTA Pumped Storage, ditargetkan 10,3 GW atau 15% dari total tambahan kapasitas. Pembangkit fosil hanya menyumbang 16,6 GW atau 24%.
Pengembangan EBT direncanakan di lima wilayah besar Indonesia. Jawa—Madura—Bali menjadi kontributor utama dengan total kapasitas pembangkit 19,6 GW dan storage 8 GW.
Sumatra menyusul dengan kapasitas pembangkit 9,5 GW dan storage 1,6 GW, sedangkan Kalimantan menargetkan 3,5 GW dan storage 0,7 GW. Wilayah lain seperti Sulawesi dan Papua juga termasuk dalam rencana pengembangan EBT nasional.
Implikasi dan Strategi ke Depan
Keterlambatan pencapaian bauran EBT 2025 menegaskan perlunya percepatan pembangunan pembangkit terbarukan. Selain itu, integrasi storage menjadi kunci agar sistem tenaga listrik lebih fleksibel dan andal.
Pengembangan EBT yang masif akan mendukung target dekarbonisasi jangka panjang. Pemerintah menekankan bahwa strategi ini tidak hanya soal jumlah kapasitas, tetapi juga memastikan keandalan listrik tetap terjaga.
Rencana RUPTL 2025—2034 menekankan sinergi antara pembangkit EBT dan storage. Hal ini penting agar pasokan listrik tetap stabil meskipun porsi EBT meningkat secara signifikan.
Tri menekankan, PLTU masih memegang peranan penting sebagai penopang sistem listrik. Ke depannya, transisi ke EBT akan dilakukan bertahap dengan memanfaatkan teknologi storage untuk menyeimbangkan pasokan.