Lonjakan Wisata Outbound Dipicu Kenaikan Biaya Domestik dan Ketertarikan Destinasi ASEAN

Jumat, 14 November 2025 | 09:34:01 WIB
Lonjakan Wisata Outbound Dipicu Kenaikan Biaya Domestik dan Ketertarikan Destinasi ASEAN

JAKARTA - Menjelang akhir tahun, preferensi wisatawan Indonesia terlihat semakin condong pada perjalanan ke luar negeri seiring meningkatnya aktivitas wisata outbound. Tren tersebut menguat pada periode libur panjang yang selalu menjadi momentum bagi masyarakat untuk berpindah destinasi ke negara tetangga.
Data terbaru menunjukkan peningkatan signifikan yang mencerminkan perubahan perilaku wisatawan secara konsisten sejak awal tahun.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah perjalanan wisatawan Indonesia ke luar negeri pada September 2025 mencapai 695,61 ribu perjalanan. Peningkatan ini tumbuh 5,25% dibanding periode yang sama pada tahun sebelumnya dan naik 1,6% dibanding bulan Agustus 2025.
Angka tersebut memperlihatkan bahwa minat outbound terus menguat di tengah berbagai dinamika industri pariwisata nasional.

Negara-negara di kawasan ASEAN masih menjadi pilihan yang paling banyak diminati wisatawan Indonesia. Malaysia menempati posisi teratas dengan pangsa kunjungan 28,92% yang kemudian disusul oleh Arab Saudi sebesar 18,77% dan Singapura dengan porsi 13,09%.
Penyebaran destinasi favorit ini menunjukkan daya tarik regional masih mendominasi keputusan wisatawan dalam menentukan tujuan.

Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Pariwisata Indonesia (ICPI), Azril Azahari, mengungkapkan bahwa tren bepergian ke luar negeri diperkirakan akan terus meningkat hingga akhir tahun. Peningkatan tersebut dipicu oleh momentum libur Natal dan Tahun Baru (Nataru) yang selalu memicu lonjakan minat wisata.
Ia menilai bahwa faktor harga menjadi penentu utama yang mendorong masyarakat untuk lebih memilih perjalanan outbound.

“Banyak orang kecewa dengan harga wisata dalam negeri yang terlalu tinggi. Kalau bepergian sekeluarga, mereka justru lebih memilih ke Malaysia atau Singapura karena lebih murah,” ujar Azril.
Pernyataan ini memperlihatkan bahwa perbandingan biaya masih menjadi tolok ukur penting dalam menentukan destinasi liburan.

Faktor Harga dan Kenyamanan Jadi Alasan Wisatawan Beralih ke Luar Negeri

Selain alasan biaya, Azril menegaskan bahwa kenyamanan destinasi juga memegang peran penting dalam keputusan wisata outbound. Faktor-faktor seperti akses perjalanan, kebersihan fasilitas publik, hingga minimnya promosi menjadi penyebab wisatawan lebih memilih negara lain.
Perbandingan tersebut semakin terasa ketika wisata domestik belum mampu menyediakan pengalaman yang setara dengan negara pesaing.

“Ke Penang atau Hainan bisa lebih hemat dibanding ke Bali atau Surabaya. Harga tiket pesawat domestik jadi penyebab utama karena biaya avtur di Indonesia 28% lebih mahal dibanding Singapura,” ungkap Azril.
Kondisi ini membuat tarif penerbangan domestik tercatat sebagai salah satu yang tertinggi di dunia.

Azril menjelaskan bahwa tarif tiket pesawat Indonesia menduduki posisi kedua termahal secara global setelah Brasil. Perbedaan harga tersebut membuat wisatawan lebih tertarik mengeksplorasi destinasi internasional yang menawarkan paket perjalanan lebih efisien.
Ketimpangan harga ini turut melemahkan daya saing pariwisata Indonesia di pasar domestik.

Di luar persoalan biaya, Azril juga menyoroti berbagai aspek kenyamanan yang masih perlu ditingkatkan dalam industri pariwisata nasional. Ia menyebutkan bahwa masalah kemacetan, kebersihan, hingga kualitas infrastruktur wisata masih menjadi kendala yang belum terselesaikan.
Hal ini membuat pengalaman wisata domestik terasa kurang optimal bagi pengunjung.

“Negara lain seperti Singapura mampu menarik wisatawan lewat kombinasi hiburan dan belanja. Indonesia punya potensi besar, misalnya lewat pusat belanja seperti Tanah Abang dan Thamrin City, tapi belum dioptimalkan,” tambahnya.
Menurutnya, potensi tersebut masih bisa diolah jika didukung oleh strategi promosi yang lebih agresif.

Kebijakan Pariwisata Dianggap Belum Responsif Menghadapi Lonjakan Wisata Akhir Tahun

Azril menilai bahwa pemerintah belum menyiapkan strategi khusus untuk menghadapi lonjakan wisata menjelang libur Nataru. Ia memandang bahwa sektor pariwisata nasional berjalan tanpa arah yang jelas pada momentum besar akhir tahun.
Kondisi ini berpotensi membuat wisatawan kembali memilih destinasi luar negeri yang lebih teratur pengelolaannya.

“Tidak ada kebijakan khusus menjelang Nataru. Pariwisata kita seperti berjalan autopilot,” tegasnya.
Komentar tersebut menggambarkan kebutuhan mendesak akan perencanaan pariwisata yang lebih responsif dan adaptif.

Selain itu, Azril mengingatkan bahwa tantangan pariwisata akan semakin besar pada 2026 karena adanya kebijakan penggunaan Sustainable Aviation Fuel (SAF). Kebijakan ini merupakan bagian dari upaya global untuk mencapai dekarbonisasi sektor penerbangan.
Penerapan SAF akan menjadi faktor baru yang menekan harga tiket pesawat.

“Mulai 2026, Singapura mewajibkan maskapai menggunakan minimal 1% SAF, dan secara global pada 2030 ditargetkan mencapai 3%–5%. Kalau Indonesia tidak siap, pesawat kita bisa dilarang singgah di bandara negara lain,” jelasnya.
Ia menekankan bahwa kesiapan industri penerbangan Indonesia masih jauh dari ideal.

Menurut Azril, kenaikan harga tiket pesawat sulit dihindari karena harga SAF mencapai 6 sampai 10 kali lipat lebih mahal dibanding avtur biasa. Kondisi ini akan semakin kompleks karena harga avtur Indonesia sendiri sudah tergolong tinggi.
Hal tersebut membuat struktur biaya penerbangan semakin membebani konsumen.

“Kalau avtur saja mahal, ditambah SAF yang lebih mahal lagi serta beban asuransi meningkat, bagaimana mungkin tiket bisa turun? Kecuali Pertamina menurunkan harga avtur, itu pun belum terjadi sampai sekarang,” tegasnya.
Ia menyatakan bahwa tanpa intervensi signifikan, biaya perjalanan udara domestik akan terus meningkat.

Kesiapan Pemerintah Menjadi Penentu Arah Pariwisata Nasional

Di tengah berbagai tantangan tersebut, Azril menilai bahwa pemerintah belum menunjukkan kesiapan yang memadai untuk menghadapi perubahan besar industri pariwisata dan penerbangan. Ia mengatakan bahwa belum tampak langkah konkret untuk merespons kebijakan SAF atau mengendalikan harga avtur.
Situasi ini dikhawatirkan akan memperlebar selisih daya saing pariwisata Indonesia dengan negara lain.

“Untuk antisipasi menjelang Nataru saja, situasinya masih adem-ayem. Belum ada langkah konkret menghadapi perubahan besar seperti SAF dan dekarbonisasi,” tutup Azril.
Ia berharap pemerintah segera melakukan evaluasi agar sektor pariwisata tidak tertinggal semakin jauh.

Terkini