JAKARTA - Wacana pembatasan game online bertema kekerasan kembali muncul setelah insiden ledakan di SMAN 72 Jakarta. Presiden Prabowo Subianto menekankan perlunya pembatasan permainan daring seperti PlayerUnknown's Battlegrounds (PUBG) karena potensi pengaruhnya pada psikologi anak dan remaja.
Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi menyebut PUBG sebagai contoh game risiko tinggi karena menampilkan senjata dan adegan pertempuran. “Misalnya PUBG, di situ banyak jenis senjata yang mudah sekali dipelajari. Ini berbahaya karena bisa menumbuhkan kebiasaan melihat kekerasan sebagai hal yang wajar,” ujarnya.
Namun, muncul pertanyaan apakah game online memang dapat mendorong perilaku ekstrem pada anak. Psikolog klinis Anastasia Sari Dewi menilai game kini menjadi bagian dari lingkungan sosial anak.
Paparan Kekerasan Dapat Menumpulkan Sensitivitas Emosional
Dalam dunia digital, anak berinteraksi dengan banyak orang yang belum tentu dikenal atau memiliki nilai yang sama. Sari menjelaskan, “Game online termasuk lingkungan, karena anak bisa kenal banyak orang di luar sana secara daring dan kita tidak tahu asal-usul atau latar belakang mereka seperti apa. Bisa jadi ada pengaruh dari saran-saran yang menyesatkan.”
Game dengan unsur kekerasan menampilkan adegan sadis yang detail. “Kalau anak sering terpapar, lama-lama hal seperti itu jadi terasa biasa. Ini yang berbahaya,” tegas Sari.
Dia menyarankan agar orang tua dan sekolah menyeimbangkan paparan digital anak dengan kegiatan yang membangun empati. Kegiatan ini membantu anak memahami nilai sosial, toleransi, dan cara menyalurkan emosi tanpa ekstrem.
Menambahkan aktivitas yang mengenalkan berbagai jenis emosi dan interaksi sosial dapat mencegah anak menggunakan perilaku ekstrem untuk menarik perhatian. Remaja yang hanya dibekali norma agama tanpa keterampilan sosial seringkali kesulitan mengelola konflik.
Peran Orang Tua dalam Mengamati dan Mengendalikan Perilaku
Psikolog anak dan remaja Sani Budiantini Hermawan menekankan bahwa budaya bermain game kekerasan sulit dihindari. Namun, paparan ini harus diimbangi dengan kontrol dan alternatif kegiatan yang sehat.
“Sering kali game berdarah-darah bagi anak bukan hal mengerikan, tapi hal biasa. Ini yang mengkhawatirkan,” kata Sani. Orang tua perlu mengamati perilaku sehari-hari anak, termasuk cara bicara, sikap agresif, dan empati.
Perubahan perilaku bisa menjadi indikator efek negatif dari game. Deteksi dini membantu orang tua mengambil langkah tepat sebelum perilaku ekstrem muncul.
Ancaman Ideologi Ekstrem dan Perilaku Viral
Selain kekerasan visual, anak juga berisiko terpapar ideologi ekstrem di dunia maya. “Anak bisa saja mencari tahu soal terorisme, ideologi ekstrem, atau melihat pelaku kekerasan sebagai role model. Mereka merasa tindakan ekstrem itu bisa menyalurkan emosi atau bahkan menjadikan mereka diperhatikan,” ungkap Sani.
Perilaku ekstrem sering muncul dari akumulasi penderitaan yang tak tersalurkan. “Kadang anak merasa tidak ada yang menolong, lalu mencari cara agar orang tahu dia sedang terluka, salah satunya lewat perilaku ekstrem yang berujung viral,” ujarnya.
Kondisi ini menunjukkan bahwa pengawasan digital dan pendidikan emosional sama pentingnya dengan pembatasan game. Anak perlu dibekali keterampilan mengelola emosi dan empati untuk menghadapi tekanan sosial di dunia nyata maupun daring.
Strategi Orang Tua Mengimbangi Pengaruh Game
Orang tua dianjurkan membatasi durasi bermain game dengan unsur kekerasan dan menawarkan alternatif yang kreatif. Misalnya, aktivitas seni, olahraga, atau permainan yang menstimulasi pemecahan masalah dapat menjadi pilihan.
Menanamkan nilai sosial, empati, dan pengendalian diri membantu anak memahami konsekuensi perilaku. Anak yang terbiasa menyalurkan emosi secara sehat lebih kecil kemungkinan terjerumus ke perilaku ekstrem.
Selain itu, komunikasi terbuka dengan anak mengenai konten game dan dunia maya membantu mereka memahami batasan. Diskusi ini juga membuat anak lebih peka terhadap dampak tindakan kekerasan dan perilaku negatif di sekitar mereka.
Kontrol digital, pengawasan perilaku, dan pendidikan emosional merupakan strategi terpadu. Kombinasi ini membantu anak tetap aman, memahami norma sosial, dan mengurangi risiko paparan konten berbahaya.
Keseimbangan Digital dan Kehidupan Nyata
Game online kekerasan bukan sekadar hiburan biasa, tetapi bagian dari lingkungan sosial digital anak. Paparan berlebihan dapat menumpulkan sensitivitas emosional dan meningkatkan risiko perilaku ekstrem jika tidak diimbangi pengawasan.
Orang tua memiliki peran penting dalam menyeimbangkan paparan digital dengan aktivitas yang membangun empati dan kemampuan sosial. Deteksi dini perubahan perilaku, pengawasan konten, dan stimulasi positif membantu anak mengelola emosi dan tetap fokus pada kehidupan nyata.
Keseimbangan antara dunia digital dan kehidupan sehari-hari merupakan kunci mencegah anak terjerumus perilaku ekstrem. Dengan pendekatan yang tepat, anak tetap bisa menikmati hiburan daring sambil belajar mengelola emosi dan berinteraksi sosial dengan aman.