4 Jajanan Tradisional Indonesia yang Sarat Makna Budaya dan Kisah Sejarah Panjang

Rabu, 12 November 2025 | 09:02:59 WIB
4 Jajanan Tradisional Indonesia yang Sarat Makna Budaya dan Kisah Sejarah Panjang

JAKARTA - Di tengah popularitas jajanan modern seperti topokki, takoyaki, dan tanghulu, keberadaan jajanan tradisional Indonesia kian tersisih. Banyak di antaranya hanya muncul di acara tertentu atau pasar malam, bukan lagi menjadi pilihan utama masyarakat sehari-hari.

Padahal, setiap jajanan tradisional Indonesia menyimpan nilai budaya, sejarah, serta cita rasa otentik yang penuh kenangan. Beberapa di antaranya lahir dari kreativitas rakyat di masa sulit, hingga menjadi simbol identitas kuliner Nusantara.

Untuk mengenang kekayaan kuliner warisan bangsa, berikut empat jajanan tradisional yang bukan hanya lezat, tetapi juga memiliki kisah menarik di balik proses terciptanya.

Bakpia Pathok: Akulturasi Budaya dalam Sebuah Kue Legendaris

Bakpia Pathok adalah bukti nyata perpaduan budaya Tionghoa dan Jawa yang harmonis. Kue bulat berisi kacang hijau ini bukan hanya camilan manis, melainkan juga simbol toleransi dan penyesuaian budaya.

Awalnya, bakpia diadaptasi dari kue Tionghoa bernama bakpia, di mana “bak” berarti daging babi dan “pia” berarti kue isi. Saat dibawa oleh perantau Tionghoa ke Indonesia pada awal abad ke-20, bahan daging babi diganti dengan isian kacang hijau agar sesuai dengan selera masyarakat muslim.

Proses adaptasi itu melahirkan Bakpia Pathok, yang berasal dari kawasan Pathuk di Yogyakarta. Kini, bakpia menjadi ikon oleh-oleh khas kota pelajar tersebut dan telah mengalami berbagai inovasi rasa seperti cokelat, keju, hingga durian.

Jika ingin mencicipinya, kamu bisa menemukan bakpia legendaris di banyak kota besar. Salah satu yang terkenal adalah bakpia kukus Tugu Jogja yang kini tersedia di berbagai layanan pesan antar modern seperti GoFood dan GrabFood.

Bakpia bukan sekadar kue, tetapi bukti sejarah panjang bagaimana perbedaan budaya bisa berpadu menjadi cita rasa baru yang abadi.

Cenil: Si Kenyal Penuh Warna yang Lahir dari Zaman Mataram Kuno

Cenil, jajanan berwarna cerah dengan tekstur kenyal, ternyata memiliki sejarah yang sangat tua. Dalam catatan Serat Centini tahun 1814, cenil disebut sebagai salah satu camilan rakyat yang telah ada sejak masa Mataram Kuno.

Camilan ini berasal dari Pacitan, Jawa Timur, yang muncul di masa sulit ketika beras sulit diperoleh. Masyarakat memanfaatkan singkong atau ketela pohon sebagai bahan utama untuk membuat makanan pengganti karbohidrat, yang kemudian melahirkan cenil.

Adonan tepung ketela dikukus hingga kenyal, lalu disajikan dengan kelapa parut dan gula merah cair. Warna-warnanya yang mencolok berasal dari pewarna alami seperti daun suji untuk hijau dan kunyit untuk kuning.

Kini, cenil hadir dalam beragam varian rasa seperti pandan, kopi, hingga cokelat, yang tetap mempertahankan tekstur kenyal khasnya.

Bagi yang ingin bernostalgia dengan jajanan ini, cenil bisa ditemukan di pasar tradisional atau area sekitar Stasiun Juanda, Pasar Modern Bintaro, serta kawasan Jagakarsa dan Cikokol.

Cenil bukan hanya camilan, tetapi saksi bisu ketangguhan masyarakat Indonesia menghadapi masa sulit dengan kreativitas kuliner sederhana.

Getuk: Dari Masa Penjajahan Menuju Warisan Kuliner Nusantara

Getuk lahir dari masa kelam saat penjajahan Jepang, khususnya di daerah Magelang. Ketika beras menjadi bahan langka, masyarakat beralih menggunakan singkong sebagai pengganti sumber karbohidrat utama.

Singkong yang dikukus kemudian ditumbuk hingga halus, menghasilkan bunyi “getuk-getuk” yang menjadi asal nama camilan ini. Awalnya dibuat karena keterpaksaan, namun lama-kelamaan getuk justru menjadi makanan manis yang penuh kenangan dan filosofi sederhana.

Warna getuk yang lembut dengan cita rasa gurih legit membuatnya disukai lintas generasi. Kini, getuk bukan hanya dijual di pasar, tetapi juga hadir dalam berbagai bentuk modern seperti getuk goreng dan getuk trio yang dikemas rapi sebagai oleh-oleh.

Kamu bisa menemukan getuk goreng asli Haji Tohirin atau Getuk Trio Magelang di berbagai platform e-commerce seperti Tokopedia dan Blibli. Selain itu, ada juga Getuk Goreng Asli Sokaraja di Tangerang Selatan yang terkenal dengan rasa autentiknya.

Dari masa sulit menjadi simbol ketekunan, getuk membuktikan bahwa warisan kuliner lokal bisa bertahan melintasi zaman.

Wedang Ronde: Kehangatan yang Mengalir dari Akulturasi Budaya Tionghoa dan Jawa

Wedang ronde adalah minuman hangat yang identik dengan suasana malam di kota-kota seperti Yogyakarta dan Semarang. Namun, tak banyak yang tahu bahwa minuman ini merupakan hasil akulturasi budaya dari Tiongkok.

Asalnya adalah tangyuan, minuman hangat berisi bola ketan yang biasa disajikan saat perayaan Imlek. Saat tiba di Indonesia, masyarakat lokal menambahkan jahe dan gula jawa, menciptakan rasa yang lebih khas dan cocok dengan lidah Nusantara.

Nama “ronde” berasal dari kata Belanda rond, yang berarti bulat—menggambarkan bentuk bola ketan di dalamnya. Biasanya, wedang ronde disajikan dengan tambahan kolang-kaling, roti tawar, dan kacang sangrai yang menambah tekstur unik.

Rasa hangat dari jahe membuat minuman ini populer di musim hujan, sekaligus membawa sensasi nostalgik bagi siapa pun yang menikmatinya. Kini, wedang ronde mudah ditemukan di berbagai kota besar seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya, baik di kafe modern maupun warung tradisional.

Wedang ronde bukan sekadar minuman, melainkan simbol keharmonisan dua budaya yang berpadu dalam satu cangkir kehangatan.

Merawat Rasa, Menjaga Warisan

Empat jajanan tradisional ini menunjukkan bahwa kuliner Nusantara tidak hanya soal rasa, tetapi juga perjalanan sejarah, budaya, dan identitas bangsa. Dari bakpia yang mencerminkan akulturasi, hingga getuk yang lahir dari masa sulit, semuanya menyimpan nilai luhur yang patut dijaga.

Di tengah gempuran kuliner asing yang terus hadir, melestarikan jajanan tradisional berarti mempertahankan jati diri Indonesia. Setiap gigitan adalah pengingat bahwa di balik kesederhanaan, ada kekayaan makna yang tak ternilai.

Terkini