Penelitian Terbaru Ungkap Kandungan Kimia Rokok Elektrik dan Potensi Risikonya di Indonesia

Rabu, 12 November 2025 | 09:02:36 WIB
Penelitian Terbaru Ungkap Kandungan Kimia Rokok Elektrik dan Potensi Risikonya di Indonesia

JAKARTA - Popularitas rokok elektrik di Indonesia meningkat pesat dalam beberapa tahun terakhir. Banyak perokok dewasa yang beralih ke produk ini karena dianggap lebih aman dibandingkan rokok konvensional.

Namun, di balik tren tersebut, masih banyak hal yang belum sepenuhnya dipahami mengenai keamanan rokok elektrik. Kurangnya data lokal menimbulkan pertanyaan besar tentang sejauh mana produk ini benar-benar lebih aman bagi masyarakat Indonesia.

Minimnya Data dan Tantangan Regulasi

Ketika rokok elektrik mulai banyak digunakan, penelitian di Indonesia masih sangat terbatas. Hal ini membuat konsumen dan pembuat kebijakan belum memiliki dasar ilmiah yang kuat untuk menilai keamanan produk ini.

Padahal, kebijakan yang tepat membutuhkan pemahaman mendalam mengenai risiko kesehatan, kandungan kimia, serta dampaknya terhadap masyarakat. Ketidakpastian ini juga menyulitkan otoritas kesehatan dalam menyusun regulasi yang tepat.

Sebuah penelitian terbaru dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) berupaya mengisi kekosongan tersebut. Studi ini dilakukan oleh Biatna Dulbert Tampubolon bersama Bambang Prasetya, Daryono Retta Wahono, dan timnya dari Pusat Riset Teknologi Pengujian dan Standar.

Mereka melakukan analisis mendalam terhadap 60 sampel rokok elektrik yang beredar di Indonesia untuk menilai kandungan kimianya, terutama terhadap sembilan toksikan utama yang ditetapkan oleh World Health Organization (WHO).

Fokus Penelitian: Kandungan Kimia dalam E-Liquid

Produk rokok elektrik umumnya terbagi menjadi dua kategori, yaitu cairan elektrik (e-liquid) dan produk tembakau yang dipanaskan (heated tobacco product atau HTP). Dalam penelitian ini, fokus utama diberikan pada e-liquid, cairan yang diubah menjadi uap melalui proses pemanasan.

Cairan ini mengandung propilen glikol (PG), gliserin nabati (VG), nikotin, dan zat perisa. Saat dipanaskan, komponen tersebut menghasilkan aerosol atau uap yang dihirup pengguna.

Menurut standar WHO, sembilan toksikan utama yang perlu diawasi dalam produk tembakau terbagi menjadi tiga kelompok besar. Pertama, senyawa karbonil seperti formaldehida, asetaldehida, dan akrolein. Kedua, senyawa organik volatil seperti benzena, 1,3-butadiena, benzo[a]pyrene, dan karbon monoksida. Ketiga, senyawa nitrosamin spesifik tembakau (NNN dan NNK).

“Zat-zat ini berpotensi menyebabkan iritasi saluran pernapasan, kanker, dan gangguan kesehatan jangka panjang,” jelas Biatna Dulbert Tampubolon saat konferensi hasil penelitian di Hotel Borobudur Jakarta.

Hasil Analisis: Kadar Toksikan Lebih Rendah pada Rokok Elektrik

Dari hasil pengujian, kadar sembilan toksikan utama dalam uap rokok elektrik ternyata jauh lebih rendah dibandingkan rokok konvensional. Bahkan, perbandingannya mencapai hingga 6.500 kali lipat lebih rendah.

Temuan ini memperkuat pandangan bahwa rokok elektrik memiliki potensi risiko yang lebih kecil terhadap kesehatan dibandingkan rokok biasa. Meski begitu, kadar nikotin yang sebenarnya pada cairan e-liquid ditemukan lebih rendah daripada yang tercantum pada label produk.

Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi pengguna yang ingin mengatur asupan nikotin secara tepat. Berdasarkan uji Mann-Whitney U, tidak ditemukan perbedaan signifikan antara rata-rata nikotin per hisapan pada rokok elektrik dan rokok konvensional.

Artinya, meskipun mengandung kadar toksikan lebih rendah, rokok elektrik tetap efektif dalam mengantarkan nikotin bagi penggunanya.

Visualisasi data juga memperlihatkan pemisahan yang jelas antara dua jenis produk tersebut. “Rokok konvensional memiliki korelasi kuat dengan kadar tinggi kesembilan toksikan, sedangkan seluruh sampel rokok elektrik menunjukkan kadar yang jauh lebih rendah,” ujar Biatna.

Senyawa yang Tidak Terdeteksi dan Kebutuhan Regulasi Ketat

Penelitian ini menemukan bahwa beberapa senyawa berbahaya seperti karbon monoksida, benzena, NNN, NNK, dan 1,3-butadiena tidak terdeteksi atau berada di bawah ambang batas deteksi pada semua sampel.

Sementara itu, benzo[a]pyrene hanya muncul pada sebagian kecil sampel, dengan kadar yang terlalu rendah untuk diidentifikasi secara pasti. Senyawa aldehida seperti formaldehida dan asetaldehida memang ditemukan, tetapi dalam kadar sangat kecil.

Hasil tersebut menunjukkan pentingnya pengendalian mutu yang ketat dalam produksi rokok elektrik. “Ketidakakuratan pelabelan nikotin pada produk e-liquid menyoroti perlunya regulasi yang lebih ketat agar konsumen bisa mengetahui kadar nikotin yang sebenarnya,” kata Biatna.

Meski hasilnya positif, penelitian ini juga memiliki sejumlah keterbatasan. Ukuran sampel yang dianalisis memang cukup representatif, tetapi belum mencakup seluruh produk yang beredar di pasaran Indonesia.

Selain itu, penelitian ini hanya menilai aspek kimia dan tidak meneliti efek biologis jangka panjang terhadap pengguna. Faktor perilaku pengguna di dunia nyata juga bisa memengaruhi hasil yang berbeda dibandingkan kondisi laboratorium.

Langkah Lanjutan dan Implikasi bagi Kebijakan Publik

Para peneliti menekankan pentingnya studi lanjutan untuk mendapatkan gambaran yang lebih utuh mengenai dampak rokok elektrik. Diperlukan penelitian epidemiologi jangka panjang terhadap pengguna di Indonesia serta uji klinis berbasis sel untuk memahami efek biologisnya.

Selain itu, disarankan agar pemerintah mendirikan lembaga pengujian independen yang terakreditasi guna memastikan pengawasan mutu produk berjalan dengan baik. Hal ini juga penting untuk menjaga transparansi hasil pengujian di mata publik.

Secara keseluruhan, hasil riset BRIN menunjukkan bahwa rokok elektrik memang memiliki risiko toksik lebih rendah dibandingkan rokok konvensional. Namun, bukan berarti produk ini sepenuhnya bebas bahaya.

“Rokok elektrik bisa menjadi alternatif bagi perokok dewasa, tetapi tetap perlu pengawasan ketat dan regulasi berbasis bukti ilmiah,” tegas Biatna.

Industri tembakau pun diharapkan melakukan inovasi yang bertanggung jawab untuk menekan dampak negatif produknya terhadap kesehatan masyarakat. Sementara itu, pemerintah perlu menyusun kebijakan tembakau yang menyeluruh dengan mempertimbangkan hasil riset dan data ilmiah terbaru.

Rokok elektrik mungkin menjadi bagian dari transformasi industri tembakau menuju produk berisiko lebih rendah. Namun, tanpa regulasi yang jelas, risiko penyalahgunaan dan salah informasi tetap terbuka.

Karena itu, pemahaman berbasis sains menjadi kunci dalam menentukan arah kebijakan ke depan. Bagi masyarakat, penting untuk menyadari bahwa meski rokok elektrik mungkin lebih aman dibandingkan rokok biasa, tetap ada risiko kesehatan yang tidak bisa diabaikan.

Terkini